Wacana Yang Membedakan Pemanfaatan Bahasa
Indonesia Pada Tataran Ilmiah, Semi Ilmiah, dan Non Ilmiah
Wacana Ilmiah
Wacana Ilmiah adalah tulisan
yang berisi argumentasi penalaran keilmuan, yang dikomunikasikan lewat bahasa
tulis yang formal dengan sistematis-metodis dan
sintesis-analitis.
Dalam tataran ilmiah, bahasa
Indonesia sangat wajib diperlukan terutama dalam penulisan karya ilmiah,
sehingga bahasa yang baik dan benar sangat diperlukan agar pemahaman bahasa
dalam satu paragraph ke paragraph lainnya dapat dimengerti.
Bahasa indonesia yang baik
seharusnya sudah di tanamkan sejak dini, agar anak-anak dapat berbahasa dengan
baik dan sopan. Sekarang ini kebanyakan bahasa telah mulai dipersalahgunakan
oleh banyak orang, yang menggunakan bahasa tersebut tidak pada tempatnya sehingga
menimbulkan kerancuan dalam berkomunikasi. Oleh karena itu, sebaiknya sejak
dini kita harus membiasakan diri menggunakan bahasa yang baik dan benar
sehingga pemanfaatan bahasa dapat di rasakan dengan baik oleh semua pihak.
Contoh
penggunaan bahasa dalam tataran ilmiah
Makalah Ringkas
PERILAKU EMPAT KATA PENUNJUK
ARAH DALAM BAHASA BALI
I Dewa Putu Wijana | Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada
1. Pendahuluan
Dari berbagai bahasa, bahasa
Bali mungkin merupakan salah satu bahasa yang memiliki kata penunjuk arah (mata
angin) yang memiliki perilaku yang unik bila dilihat secara linguistis,
khususnya dari aspek morfologis dan sintaktis. Hanya kata-kata penunjuk arah
inilah yang bisa dikenai proses morfologis dan sintaktis tertentu, dan proses
itu tidak pernah atau jarang sekali dapat dikenakan pada kata-kata yang lain.
Tulisan singkat ini akan mendeskripsikan keunikan-keunikan itu, dan berusaha
mencari penjelasan mengapa keunikan itu bisa terjadi. Dalam bahasa Bali, empat
kata penunjuk arah yang utama diungkapkan dengan satuan lingual kangin timur ,
kauh barat , kaja selatan , dan kelod utara . Secara etimologis kata kelod
berasal dari ke laut lewat proses persandian (au>O) dan korespondensi /t/
dan /d/ dan pengubahan fungsi preposisi ke menjadi suku awal . Hilangnya sifat
kontras antara /t/ dan /d/dalam hal ini disebut dengan netralisasi (Martinet,
1987, 85; Verhaar, 1996, 85). Oleh karenanya, tidak mengherankan bila orang
orang Bali menyebut tempat yang mengarah atau menuju ke laut dengan kelod
walaupun secara geografis tempat-tempat itu berada di barat, selatan, atau
timur. Orang Bali sering mengatakan Engken pasihe ento kelode Mana lautnya di
sanalah kelod . Kata lod dalam hal ini agaknya secara diakronis
berkorespondensi dengan kata lor dalam bahasa Jawa yang bermakna utara hanya
saja kemudian terjadi perubahan dalam bahasa Bali menjadi tempat yang menuju ke
laut . Dengan kontrusksi itu kata-kata penunjuk arah merupakan kata-kata yang
sangat tinggi frekuensi pemakaiannya karena begitu dekat hubungannya dengan
kehidupan orang Bali. Misalnya dalam dikotomi budaya Bali kaja adalah gunung
sebagai pusat kemakmuran dan kesuburan. Kelod adalah tempat yang menuju laut.
Kangin adalah tempat matahari terbit, dan kauh adalah tempat matahari
tenggelam. Dekatnya hubungan arah dan kehidupan manusia inilah yang menyebabkan
kata-kata ini memiliki perlakuan linguistik tertentu di dalam pemakiannya. Hal
ini agaknya belum pernah mendapatkan perhatian dari ahli-ahli bahasa yang
bergelut dengan bahasa Bali. Dalam tulisan ini ditemukan dua buah proses
linguistik yang khas dialami oleh kata-kata penunjuk arah ini, yakni kontraksi
preposisi di dan pembubuhan afiks be- yang secara berturut-turut diuraikan
dalam 2 dan 3.
2. Kontraksi preposisi di
Perubahan bunyi yang terjadi
di dalam bahasa tidak hanya terjadi dalam tataran Leksikon, tetapi mungkin pula
ditemukan dalam tataran yang lebih tinggi, seperti frasa dan kalimat (Pastika,
2004a, 1; 2004b, 52). Kontraksi di yang melekat pada kata-kata penunjuk arah
yang akan dibicarakan berikut ini pada hakikatnya merupakan perubahan bunyi
pada tataran frase. Kontraksi adalah proses peringkasan leksem dasar atau
gabungan leksem, seperti tidak menjadi tak, tidak ada menjadi tiada, dsb.
(Kridalaksana 1993, 121). Definisi ini tidak jauh berbeda dengan yang
dikemukakan oleh Crystal (1978, 89) yang mengemukakan bahwa kontraksi adalah:
The process or result of
phonologically reducing a linguistic form so that it comes to be attached to an
adjacent linguistic form or fusing a sequence of forms so that they appear as a
single form.
Dengan terjadinya kontraksi
secara diakronis maka semua kata-kata penunjuk arah angin dalam bahasa Bali
berawal dengan bunyi /k/, yakni kangin, kauh, kaja, dan kelod. Kata kaja,
kelod, kangin, dan kauh adalah nomina yang bila digunakan untuk menunjuk tempat
tertentu harus mengambil bentuk yang lain, yakni dangin, dauh, daja, dan delod.
Bila tidak maka kata kangin hanya dapat digunakan sebagai nomina biasa, seperti
dalam ungkapan Tusing nawang kaja kelod tidak tahu selatan dan utara atau
Tusing nawang kangin kauh Tidak tahu timur dan barat . Adapun kalau arah itu
menunjuk tempat akan digunakan seperti berikut ini:
1.
Dajan rurung-e ada anak ng-adep kembungan
Di
selatan jalan-nya kl ada orang jual trans balon
Di selatan
jalan ada orang yang menjual balon2
2.
I Belog ulung di delod pangkung-e
Art.
Belog ND jatuh di utara jurang kl
I
Belog jatuh di sebelah utara jurang
3.
Dauh tukade tusing ada yeh.
Utara
sungai tidak ada air
Di
utara sungai tidak ada air
4.
Dangin tiange umah-ne.
Timur
saya kl rumah pos.
Di
sebelah timur rumah saya rumahnya
3. Prefiksasi be-
Dalam buku-buku tata bahasa
bahasa Bali agaknya jarang sekali atau mungkin tidak ada yang membicarakan
afisk be-. Dengan kata lain afiks-afiks ini dianggap tidak ada dalam bahasa
Bali. Akan tetapi, secara sinkronis jelas sekali bahwa di dalam bahasa Bali ada
kata-kata bedauh jauh di barat , bedelod jauh di utara , bedaja jauh di selatan
, bedangin jauh di timur . Dengan demikian, dicurigai ada proses morfologis
seperti di bawah ini:
be- + dauh > bedauh
be- + delod > bedelod
be- + daja > bedaja
be- + dangin > bedangin
Adapun pemakaiannya dapat
dilihat dalam (14), (15), (16), dan (17) di bawah ini:
5.
+ Dija ada balih-balihan?
Di
mana KT ada tontonan
Di
mana ada tontonan?
-
Ditu bedaja.
Di
sana di selatan
Di
sana di selatan
6.
Bedangin tusing ada apa-apa.
di
timur tidak Neg ada apa-apa
Di
timur tidak ada apa-apa
7.
Ada apa bedauh?
ada
apa KT di barat
Ada
apa di barat?
8.
Umah-ne bedelod, tusing dini.
Rumah-nya
pos di utara, bukan Neg. di sini
Rumahnya
di utara, bukan di sini
Afiks
be- yang melekat pada keempat kata penunjuk arah itu bermakna gramatikal tempat
yang jauh dari pembicara.Bila orang Bali ingin menunjuk
tempat
yang dipandang tidak terlalu jauh, maka ia akan menggunakan klitika ne.
Kata-kata
penunjuk arah yang berklitika ne ini dapat didahului dengan kata dini
di
sini .
9.
+ Lakar kija, Beli?
mau
ke mana KT, Kakak
Mau
pergi ke mana, kakak?
-
Dini, dauh-ne jep.
di
sini di barat Kl sebentar
Di
sini di barat sebentar
4. Catatan Penutup
Proses linguistik apapun
jenisnya yang terdapat di dalam bahasa bahasa ternyata tidak terjadi pada
sembarang bentuk kebahasaan, dan dapat dikenakan secara analogis pada
bentuk-bentuk serupa yang lain. Untuk ini diperlukan syarat yang lain, yakni
bentuk itu lazimnya memiliki ciri tertentu dan mempunyai frekuensi pemakaian
yang sangat tinggi, bahkan mungkin secara kultural begitu dekat atau penting
hubungannya dengan kehidupan masyarakatnya.
Untuk mencapai penjelasan
yang memuaskan analisis sinkronis pada saat-saat tertentu membutuhkan
penjelasan yang bersifat diakronis. Hal ini agaknya berkaitan dengan prinsip
uniformasi yang dikemukakan oleh Bell (1976, 187-191; periksa juga Wardaugh,
1988, 18) yang mengemukakan bahwa:
The linguistic process which
we observe to be taking place around us are the same as those which have
operated in the past, so that there can be no clean break between synchronic
matters and diachronic ones.
Dalam hubungannya dengan
kontraksi di dalam bahasa Bali semakin jelas bahwa batas-batas tataran
linguistik, leksikon, fonologi, morfologi, dan sintaksis semakin tidak jelas
(kabur). Di dalam bahasa terdapat morfem-morfem yang bergabung dengan satu satuan
tertentu saja yang disebut dengan morfem unik (Ramlan, 1987, 82), ada morfem
yang dapat bergabung dengan berbagai jenis morfem, dan dalam kaitannya dengan
afiks be- dalam bahasa Bali, morfem ini hanya bergabung dengan morfem dasar
penunjuk arah yang bila konsep keunikan ini diperluas, yakni dapat pula
diterapkan untuk morfem terikat, maka be- dalam bahasa bali disebut sebagai
morfem semiunik.
Wacana Semi Ilmiah
Wacana semi-ilmiah adalah
tulisan yang berisi informasi faktual, yang diungkapkan dengan bahasa
semiformal, tetapi tidak sepenuhnya mengikuti metode ilmiah yang
sintesis-analitis karena sering “dibumbui” dengan opini pengarang yang
kadang-kadang subjektif.
Contoh
bahasa dalam tataran semi ilmiah
KabarIndonesia – Pemerintah
Provinsi Kalimantan Selatan, melaui dinas pekerjaan umumnya (DPU) terus
mempermulus jalan-jalan trans propinsi yang ada dikabupaten Tanah Bumbu itu.
Pekerjaan yang dilaksanakan oleh PT. Adhi Karya tersebut, sangat terasa
manfaatnya oleh masyarakat.
“Khususnya para pengguna
jalan trans provinsi, baik yang dari Banjarmasin menuju Batulicin dan
Kotabaru,” kata Fadli MHM, yang kesaharian sebagai pengemudi angkutan penumpang
Banjarmasin – Batulicin PP.
“Dulu, sebelum jalan ini
diperbaiki, dari Batulicin menuju Banjarmasin bisa memakan waktu hingga 7 jam
perjalanan. Tetapi sekarang bisa ditempuh cukup dengan 5 jam saja,” ujar Fadli.
Wacana Non Ilmiah
Non Ilmiah (Fiksi) adalah satu
ciri yang pasti ada dalam tulisan fiksi adalah isinya yang berupa kisah rekaan.
Kisah rekaan itu dalam praktik penulisannya juga tidak boleh dibuat
sembarangan, unsur-unsur seperti penokohan, plot, konflik, klimaks, setting
dsb.
Contoh
penggunaan bahasa dalam tataran non-ilmiah
AKU
Kalau sampai waktuku
Ku mau tak seorang kan
merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak
perduli
Aku mau hidup seribu tahun
lagi
0 komentar:
Posting Komentar